MAKALAH FATWA SAHABAT / QAULU AS SHAHABI

 

 

MAKALAH

FATWA SAHABAT / QAULU AS SHAHABI

Disusun guna memenuhi tugas Mata kuliyah : Ushul Fiqih

Dosen Pengampu : Ahmad Saifudin, M. S.I

 

 

 


 

 

Disusun oleh :

M Muhamin ( 19.01.874)

PROGAM STUDI ILMU ALQUR’AN DAN TAFSIR

STAIA SYUBBANUL WATHON

MAGELANG

2020

 

 

 

 

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.    Latar Belakang

                                     

            Al Qur’an dan As Sunnah merupakan sumber hukum syar’i dan juga disebut pula dalil (petunjuk) utama hukum Islam. Dan sumber dalil hukum islam dikelompokkan menjadi dua yaitu yang disepakati dan yang masih diperselisihkan oleh Jumhur ulama. Adapun yang telah disepakati adalah Al-qur’an dan Sunnah, serta Ijma’ dan qiyas sedangkan 7 dalil hukum islam yang masih menjadi perselisihan Jumhur ulama yaitu : Mashalihul Mursalah, Istihsan, Saddudz Dzari’ah, ‘Urf, Istishab, Mazhab Shahabi/ Fatwa Sahabat dan Syar’u Man Qablana.

            Adanya sumber hukum yang masih diperdebatkan karena perbedaan metode atau tata cara merumuskan hukum atas suatu perbuatan atau permasalahan, terutama pada perbuatan atau masalah yang tidak disebutkan dan/atau diatur secara rinci dalam Al-Qur’an dan Hadits.

            Ushul fiqh sebagai disiplin ilmu mandiri adalah ilmu yang menerangkan tentang kaidah-kaidah dan pembahasan–pembahasan yang dapat mengantarkan pada penggalian hukum syari’ah amaliyah dari dalil-dalilnya yang terperinci. Salah satu objek kajian Ushul fiqh adalah sumber dan dalil hukum syar’I. Dan dalam makalah kami ini pembahasan lebih terfokus kepada Fatwa Sahabat

 

B.     Rumusan Masalah

a.       Apa yang dimaksud dengan Fatwa Sahabat?

b.      Apa saja macam-macam dari Fatwa Sahabat?

c.       Bagaimana contoh fatwa sahabat ?

d.      Bagaimana Pendapat ulama’ 4 madzhab tentang Qaul Shahabi / Fatwa Sahabat ?

 


 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

1.      Fatwa Sahabat / Pendapat Sahabat / Qaul al-Shahabi

Dalam beberapa literatur kitab ushul fiqh, ada perbedaan penyebutan untuk qaulu shahabi.  Ada yang memakai  fatwa shahabi, ada juga yang memakai mazhab shahabi, namun esensi penjelasannya adalah sama.

a.      Pengertian Sahabat & Fatwa Sahabat

             Dari segi bahasa Arab As-shahabi adalah mufrad dari shahabat, yang diambil dari kata-kata shahiba-yashahabu-shuhbatan dan shahabatan yang bermakna bergaul dengan seseorang (1)

Secara istilah Sahabat adalah orang orang yang bertemu Rasulullah saw, yang lagsung menerima risalahnya, da mendengarka penjelasan langsung dari beliau sendiri. Oleh karna itu jumhur fuqaha’ telah menetapkan bahwa pendapat mereka dapat dijadikan hujjah sesudah dalil dalil nash. (2)

Menurut ulama’ usul fiqh sahabat ialah mereka yang bertemu dengan nabi Muhammad s.a.w. dan beriman dengannya, bersahabat dengannya dalam  tempo  masa yang agak panjang dan mengambil ilmu darinya sehingga wajar dikatakan ia sebagai sahabat atau teman rapat dari segi urufnya seperti Khulafa’al-Rasyidin, Ibnu Abbas,Saidatina Aisyah dan lain-lain

Menurut para ulama’ muhadditsin sahabat ialah orang yang bertemu dengan Nabi s.a.w., beriman kepadanya dan mati dalam keadaan Islam, Menurut para Ushuliyyin pula, sahabat adalah setiap orang yang beriman kepada Nabi s.a.w., bergaul dengannya dalam waktu yang lama dan mati dalam keadaan Islam. Menurut Al-Baqilani dan beberapa ulama lainnya, seperti Ibnu Faruk dan Ibnu Sam’an  bahwa sahabat adalah orang yang lama pergaulannya dengan Nabi Muhammad s.a.w. dan banyak berguru dengan baginda Rasulullah dengan cara mengikutinya dan mengambil pengajarannya.

             Fatwa sahabat adalah pendapat sahabat Rasulullah saw tentang suatu kasus dimana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam Alqur’an maupun sunnah /hadits Nabi

Adapun dalil” yang ditetapkan oleh Jumhur fuqaha bahwa pendapat sahabat boleh dibuat hujjah adalah sbb :

1.      Dalil Naqli :

Firman Allah :

وَالسَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ مِنَ المُهَاجِرِينَ وَالأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحسَانٍ رَضِيَ اللهُ عَنهُ وَرَضُو عَنهُ

Dan orang orag yag terdahulu lagi pertama tama (masuk islam) diantara orang orang Muhajirin dan Ansar dan orang orang yang mengikuti mereka denga baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah. (3) 

 

 


 1 Alfiurzabadi Muhammad bin ya’qub Qamus Almuhit, Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 2005. Cet 8 hal 104

2

3Q.S Attaubah ayat 100

 

Sabda Nabi saw :

أَنَا أَمَانٌ لِأَصحَابِى وَاَصحَابِى أَمَانٌ لِأُمَّتِى

      Saya adalah kepercayaan (orang yang dipercaya) sahabatku,sedang sahabatku adalah kepercayaan umatku”.

 

2.      Dalil Aqli :

1.      Para sahabat adalah Orang-orang yang lebih dekat kepada Rasul dibanding orang lain. Dengan demikian, mereka lebih mengetahui tujuan-tujuan syara’, Lantaran mereka menyaksikan langsung tempat dan waktu turunnya Alqur’an, mempunyai keikhlasan dan penalaran Tinggi, ketaatan yang mutlak kepada petunjuk-petunjuk Nabi,  serta mengetahui situasi dimana nash-nash Alqur’an diturunkan. Oleh karna itu, fatwa-fatwa mereka lebih layak untuk diikuti.

2.      Pendapat-pendapat yang dikemukakan para sahabat sangat mungkin sebagai bagian dari sunnah Nabi dengan alasan mereka sering menyebutkan hukum-hukum yang dijelaskan oleh Rasullullah SAW. Tanpa menyebabkan bahwa hal itu datang dari Nabi, karna tidak ditanya sumbernya. Dengan kemungkinan tersebut, disamping pendapat merekaselalu didasarkan pada qiyas atau penalaran maka pandangan mereka lebih berhak untukdiikuti, karna pandangan tersebut kemungkinan besar berasal dari nash (Hadits) serta sesuai dengan daya nalar (rasional).

3.      Jika pendapat para sahabat didasarkan pada qiyas, sedang para ulama yang hidup sesudah merekajuga menetapkan hokum berdasarkan qiyas yang berbeda dengan pendapat sahabat, maka untuk lebih berhati-hati, yang kita ikuti adalah pendapat para sahabat karna Rasullullah bersabda : “Sebaik-baik generasi, adalah generasiku dimana aku diutus oleh Allah dalam generasi tersebut”. (4)

b.      Macam-Macam Fatwa Sahabat

         Setelah Rasulullah wafat, yang memberikan fatwa kepada orang banyak pada waktu itu ialah Jemaah Sahabat. Mereka adalah orang-orang yang paling dekat dengan Rasulullah disbanding orang lain. Dengan demikian mereka lebih mengetahui tujuan-tujuan syara’ lantaran mereka menyaksikan langsung tempat dan waktu turunnya Al-Quran. Oleh karena itu, banyak kita dapatkan fatwa-fatwa sahabat yang secara tegas tidak dinyatkan dalam al-Quran dan Sunnah. Dalam hal ini, Abdul Karim Zaidan (ulama’ kontemporer) membagi Pendapat atau Fatwa sahabat ke dalam empat kategori : (5)

1.    Fatwa sahabat yang hukan merupakan hasil ijtihad. Misalnya, fatwa Ibnu Mas’ud bahwa batas minimal waktu haid tiga hari dan batas minimal mas kawin sebanyak sepuluh dirham. Fatwa-fatwa semacam ini bukan merupakan bukan hasil ijtihad para sahabat dan besar kemungkinan hal itu mereka teriam dari Rasulullah. Oleh karena itu, fatwa-fatwa semacam ini disepakati menjadi landasn hukum bagi generasi susadahnya.

2.    Fatwa sahabat yang disepkati secara tegas di kalangan mereka dikenal dengan Ijma Sahabat. Fatwa semacam ini menjadi pegangan bagi generasi sesudahnya.

3.    Fatwa sahabat secara perorangan tidak mengikat sahabat yang lain. Para mujtahid dikalangan sahabat memang sering berbeda pendapat dalam satu masalah karena adanya perbedaan tempat dan kondisi di antara mereka.

4.    Fatwa sahabat secara perorangan yang didasarkan oleh Ra’yu dan Ijtihad. 

 


4 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, cet. 1, (Jakarta: Amzah, 2010), hal. 228.

                      5 Satria Effendi, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), Hal 169 -170, Cet. III

              Ulama berbeda pendapat tentang fatwa sahabat secara perorangan tersebut yang merupakan hasil ijtihad, apakah mengikat generasi sesudahnya atau tidak. Jelasnya, fatwa-fatwa sahabat itu tidak keluar dari lima kemungkinan berikut ini: (6)

1.    Fatwa tersebut mereka dengar langsung dari rasulullah SAW,

2.    Fatwa tersebut mereka dengar dari sahabat yang mendengarkan dari fatwa Rasulullah,

3.    Fatwa terssebut mereka pahami dari ayt-ayat suci al-Quran yang tidak jelas,

4.    Fatwa tersebut telah mereka sepakati akan tetapi hanya disampaikan oleh seorang mufti,

5.    Fatwa tersebut merupakan pendapat sahabat secara pribadi.

 

c.       Contoh contoh fatwa sahabat

 (۱) عن رفاعة بن رافع رضي الله عنه قال : كنا يومًا نصلي وراء النبي صلى الله عليه وآله وسلم فلما رفع رأسه من الركعة قال: «سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ»، قَالَ رَجُلٌ وَرَاءَهُ: رَبَّنَا وَلَكَ الحَمْدُ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ، فَلَمَّا انْصَرَفَ، قَالَ: «مَنِ المُتَكَلِّمُ» قَالَ: أَنَا، قَالَ: «رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِينَ مَلَكًا يَبْتَدِرُونَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلُ (رواه البخارى )                                                                                                          

             Artinya, “Rifa’ah bin Rafi’ berkata, ‘Kami pernah shalat bersama Rasulullah, saat bangun dari ruku’ ia membaca, ‘Sami’allahu liman hamidah.” Tiba-tiba ada seorang sahabat yang membaca, ‘Rabbana wa lalakal hamd hamdan katsiran tayyiban mubarakan fihi (wahai Rabb kami, bagi-Mu segala puji, aku memuji-Mu dengan pujian yang banyak, yang baik dan penuh dengan berkah). Setelah selesai shalat, Rasul bertanya, ‘Siapa yang mengucapkan kalimat itu?’ Sahabat itu berkata, ‘Saya Rasulullah.’ Kemudian Rasulullah berkata, ‘Saya melihat sekitar tiga puluhan malaikat berloma-lomba untuk siapa pertama kali yang mencatat (pahalanya),’” (HR Al-Bukhari).

 

      (۲) عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِبِلاَلٍ: «يَا بِلاَلُ، حَدِّثْنِي بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِي الإِسْلاَمِ، فَإنِّي سَمِعْتُ دَفَّ نَعْلَيْكَ بَيْنَ يَدَيَّ في الجَنَّةِ» قَالَ: مَا عَمِلْتُ عَمَلًا أَرْجَى عِنْدِي مِنْ أَنِّي لَمْ أَتَطَهَّرْ طُهُوْرًا فِي سَاعَةٍ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ إِلاَّ صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطُّهُورِ مَا كُتِبَ لِي أَنْ أُصَلِّ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ ، وَهَذَا لَفْظُ البُخَارِي . «الدَّفُّ» بِالفَاءِ: صَوْتُ النَّعْلِ وَحَرَكَتُهُ عَلَى الأَرْضِ،  

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Bilal, “Wahai Bilal, ceritakanlah kepadaku tentang satu amalan yang engkau lakukan di dalam Islam yang paling engkau harapkan pahalanya, karena aku mendengar suara kedua sandalmu di surga.” Bilal menjawab, “Tidak ada amal yang aku lakukan yang paling aku harapkan pahalanya daripada aku bersuci pada waktu malam atau siang pasti aku melakukan shalat dengan wudhu tersebut sebagaimana yang telah ditetapkan untukku.” (Muttafaqun ‘alaih. Lafal hadits ini adalah milik Bukhari) Ad-daffu adalah suara sandal dan gerakannya di atas tanah, wallahu a’lam. (7)

 


 6            M. Abu Zahrah, Ushul Fiqih (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2011), Hal 331, Cet. XIV

Dan  (I’lam al-Muwaqqiin, juz 1, hal. 248)

7 HR. Bukhari, no. 443 dan Muslim, no. 715

 

 

 (۳) diriwayatkan oleh Imam Bukhari tentang sahabat Khubaib yang melakukan shalat dua rakaat sebelum beliau dihukum mati oleh kaum kafir Quraisy. Kemudian tradisi ini disetujui oleh Rasulullah SAW setahun setelah meninggalnya.

(٤) Demikian juga, sebuah hadis yang diriwayatkan dalam Mushannaf Abdur Razaq dan Imam An-Nasa'i dari Ibn Umar bahwa seorang sahabat memasuki masjid di saat ada shalat jamaah. Ketika dia bergabung ke dalam shaf orang yang shalat, sahabat itu berkata:

اللهُ اَكبَر كَبِيرَا وَالحَمدُ للهِ كَثِيرًا وَسُبحَانَ اللهِ بُكرَةً وَاَصِيلًا

 Allah Mahabesar sebesar-besarnya, dan segala puji hanya bagi Allah sebanyak-banyaknya, dan Mahasuci Allah di waktu pagi dan petang.  

             Maka Rasulullah SAW memberikan kabar gembira kepada sahabat tersebut bahwa pintu pintu langit telah dibukakan untuknya.

 (۵) diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Imam An-Nasa'i dari beberapa sahabat yang duduk berzikir kepada Allah. Mereka mengungkapkan puji-pujian sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah karena diberi hidayah masuk Islam, sebagaimana mereka dianugerahi nikmat yang sangat besar berupa kebersamaan dengan Rasulullah SAW. Melihat tindakan mereka, Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya Jibril telah memberitahuku bahwa Allah sekarang sedang berbangga-bangga dengan mereka di hadapan para malaikat."

       Dari tindakan Rasulullah SAW yang menerima perbuatan para sahabat tersebut, kita bisa menarik banyak pelajaran sebagai berikut:

1.      Rasulullah SAW tidak akan menolak tindakan yang dibenarkan syariat selama para pelakunya berbuat sesuai dengan pranata so sial yang berlaku dan membawa manfaat umum. Dengan demikian, perbuatan tersebut bisa dianggap sebagai bentuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Swt yang bisa dilakukan kapan saja, baik di malam maupun siang. Perbuatan ini tidak bisa disebut sebagai perbuatan yang makruh, apalagi bid'ah yang sesat.

2.      Orang Islam tidak dipersoalkan karena perbuatan ibadah yang bersifat mutlak, yang tidak ditentukan waktunya dan tempatnya oleh syariat. Terbukti bahwa Rasulu1lah SAW telah membolehkan Bilal untuk melakukan shalat setiap selesai bersuci, sebagaimana menerlma perbuatan Khubaib yang shalat dua rakaat sebelum menjalani hukuman mati di tangan kaum kafir Quraisy.

3.      Tindakan Nabi SAW yang membolehkan bacaan doa-doa waktu shalat, dan redaksinya dibuat sendiri oleh para shahabat, atau juga tindakan beliau yang membolehkan dikhususkannya bacaan surat-surat tertentu yang tidak secara rutin dibaca oleh beliau pada waktu shalat, tahajjud, juga doa-­doa tambahan lain. Itu menunjukkan bahwa semua perbuatan tersebut bukanlah bid'ah menurut syariat. Juga tidak bisa disebut sebagai bid'ah jika ada yang berdoa pada waktu-waktu yang mustajabah, seperti setelah shalat lima waktu, setelah adzan, setelah merapatkan barisan (dalam perang), saat turunnya hujan, dan waktu-waktu mustajabah lainnya. Begitu juga doa-doa dan puji­-pujian yang disusun oleh para ulama dan orang­ orang shalih tidak. bisa disebut sebagai bid'ah. Begitu juga zikir-zikir yang kemudian dibaca secara rutin selama isinya masih bisa dibenarkan oleh syariat.

4.      Dari persetujuan Nabi SAW terhadap tindakan beberapa sahabat yang berkumpul di masjid untuk berzikir dan menyukuri nikmat dan kebaikan Al­lah Swt serta untuk membaca Al-Qur'an, dapat disimpulkan bahwa tindakan mereka mendapatkan legitimasi syariat, baik yang dilakukan dengan suara pelan ataupun dengan suara keras tanpa ada perubahan makna dan gangguan. Dan selama tindakan tersebut bersesuaian dengan kebutuhan umum dan tidak ada larangan syariat yang ditegaskan terhadapnya, maka perbuatan tersebut termasuk bentuk mendekatkan diri kepada Allah, dan bukan termasuk bid'ah menurut syariat.

 

d.      Pendapat ulama’ 4 madzhab tentang Qaul Shahabi / Fatwa Sahabat

           Para Imam mazhab yang empat sepakat menjadikan qaul al-Shahabi sebagai rujukan terhadap masalah-masalah yang bukan merupakan wilayah ijtihad. Sebab dalam masalah-masalah yang bukan merupakan wilayah ijtihadqaul al-Shahabi dipandang berkedudukan sebagai al khabar at-tawqifi (informasi keagamaan yang diterima tanpa reserve) yang bersumber dari Rasulullah. (8)

1.    Imam Abu Hanifah

 Adapun sumber hokum ijtihad yang pokok Abu Hanifah yaitu apabila tidakterdapat dalam Alquran, ia merujuk pada sunnah Rasul dan atsar yang shahih yang diriwayatkan oleh orang orang yang tsiqah. Dan bila tidak mendapatkan padakeduanya, maka ia akan merujuk pada qaul sahabat, dan apabila sahabat ikhtilaf, maka ia akan mengambil pendapat dari sahabat manapun yang ia kehendaki. Dalamhal ini, Abu Hanifah telah berkata:

“Jika kami tidak menjumpai dasar -dasar hukumdari al-Qur‟an dan hadist, maka kami mempergunakan fatwa-fatwa sahabat.  Pendapat para  sahabat  tersebut,  ada  yang  diambil , ada  pula yang kami tinggalkan. Akan tetapi kami tidak akan beralih dari pendapat mereka kepada selain mereka.”

2.    Imam Syafi’i

        Diriwayatkan oleh ar- Rabi‟, bahwa Imam Syafi‟i berkata dalam kitab al Risalahnya sebagai berikut:“Suatu ketika kami menjumpai para ulama mengambil pendapat seorang sahabat, sementara pada waktu yang lain mereka meninggalkannya. Mereka berselisihterhadap sebagian pendapat yang diambil dari para sahabat. ” Kemudian seorang teman diskusinya bertanya:“Bagaimanakah sikap anda terhadap hal ini?”. Dia menjawab:“Jika kami tidak menemukan dasar - dasar hukum dari al-Qur‟an, sunah,ijma‟, dan sesamanya, maka kami mengikuti pendapat salah seorang sahabat” (9)

 

 

 

 

 


8 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, cet. 1, (Jakarta: Amzah, 2010), hal. 226.

                       9 M. Abu Zahrah, Ushul Fiqih (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2011), Hal 332, Cet. XIV

 

 

Diriwayatkan juga oleh ar-Rabi‟, bahwa Imam Syafi‟i di dalam kitab al -Umm berkata:“Jika kami tidak menjumpai dasar dasar hukum dalam al-Qur‟an dan sunnah, maka kami kembali kepada pendapat para sahabat atau salah seorang dari mereka. Kemudian jika kami harus bertaqlid, maka kami lebih senang kembali (mengikuti) pendapat Abu Bakar, Umar atau Usman. Karena jika kami tidakmenjumpai dilalah dalam ikhtilaf yang menunjukan pada ikhtilaf yang lebih dekatkepada al-Qur‟an dan sunnah, niscaya kami mengikuti pendapat yang mempunyai dilalah”  (10)

3.    Imam Malik bin Anas

          Imam Malik RA dalam kitabnya al- Muwaththa‟  banyak sekali hukum-hukum yang didasarkan pada fatwa-fatwa sahabat. Metode Ijtihad Imam Malik bin Anas : Al- Qur‟an, Hadits (termasuk hadits dhaif yang diamalkan penduduk Madinah), Ijma’, Atsar yang diamalkan penduduk Madinah. Qiyas dan Mashlahah Mursalah (keluar dari Qiyas umum karena alasan mencari maslahat)

Kitab Kitab Mazhab Maliki, Kitab Hadits, Al Muwatta‟, Syada‟id Abdullah bin Umar (Pendapat-pendapat Abdullah bin Umar yang keras), Rukhas Abdullah bin Abbas (Pendapat-pendapat Abdullah bin Abbasyang ringan), Shawazh Abdullah Ibnu Mas‟ud (Pendapat-pendapat Abdullah bin Mas‟ud). (11) 

4.    Imam Ahmad bin Hanbal

           sumber hukum yang dijadikannya sebagai landasan yaitu Alquran, sunnah, qaul shahabi yang tidak bertentangan, hadis mursal , hadis dhaif, qiyas dan sadz al dzar‟ .Imam Hanbal lebih mengutamakan hadis mursal atau hadis dhaif dari pada qiyas. Sebab, beliau tidak akan menggunakan qiyas kecuali dalam keadaan sangat terpaksa.Demikian juga halnya dengan qaul shahabi, beliau tidak menyukai fatwa bila tanpa didasarkan pada atsar . Apabila dalam Alquran dan sunnah tidak didapati dalil yang dicari maka beliaumenggunakan fatwa para sahabat Nabi yang tidak ada perselisihan diantara mereka.  Namun  jika  tidak  ditemui  dalam  fatwa  tersebut, maka beliau mengunakan hadis mursal dan dhaif. Bila masih tidak ditemukan juga, maka barulah beliau mengqiyas kannya.

          

                                              

 

 

 


10 (al-Umm, juz 7, hal. 247 ) dan Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, cet. 12,  hal. 332-334.

 11Asywadie Syukur, Pengantar Ilmu Fikih dan Ushul Fikih, (Surabaya: Bina Ilmu, 1990), hlm. 122.

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

A.  Kesimpulan

       Dari pembahasa yag telah kai paparkan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

Yang dimaksud dengan fatwa sahabat ialah pendapat sahabat  Rasulullah SAW. tentang suatu kasus dimana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah, dan dinukil para ulama baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum. Dimana ayat dan hadits tidak menjelaskan hukum atas permasalahan yang dihadapi oleh para sahabat tersebut.

Menurut Abu Hanifah, perselisihan antara dua orang sahabat mengenai hukum sutau kejadian sehingga terdapat dua pendapat, bisa dikatakan ijma’ di antara keduanya. Maka kalau keluar dari pendapat mereka secara keseluruhan berarti telah keluar dari ijma’ mereka.

Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat bahwa pendapat orang tertentu dikalangan sahabat tidak dipandang sebagai hujjah, bahkan beliau memperkenankan untuk menentang pendapat mereka secara keseluruhan dan melakukan ijtihad untuk mengistinbat pendapat lain. Dengan alasan bahwa pendapat mereka adalah pendapat ijtihadi secara perseorangan dari orang yang tidak ma’sum (tidak terjaga dari dosa).

Imam Malik RA dalam kitabnya al- Muwaththa‟  banyak sekali hukum-hukum yang didasarkan pada fatwa-fatwa sahabat. Dan imam ahmad bin hanbal Imam Hanbal lebih mengutamakan hadis mursal atau hadis dhaif dari pada qiyas. Sebab, beliau tidak akan menggunakan qiyas kecuali dalam keadaan sangat terpaksa.Demikian juga halnya dengan qaul shahabi, beliau tidak menyukai fatwa bila tanpa didasarkan pada atsar .

       Tidak semua ulama sepakat untuk mengambil dan mengikuti mazhab sahabat sebagi hujjah dalam menetapkan suatu hukum. Akan tetapi sebagaimana dijelaskan oleh Syeikh Muhammad Abu Zahrah jumhur ulama mengikuti dan mengambil madzhab Sahabat sebagi hujjah dalam istimbath hukum, terutama Imam mazhab yang empat (Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafi’i, dan Imam Hanbali).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Alqur’an dan terjemahnya Cet. Menara qudus 

Abu Zahrah, Muhammad, Ushul Fiqh, cet. 12, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008.

Alfiurzabadi Muhammad bin ya’qub Qamus Almuhit, Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 2005. Cet 8

 

Asywadie Syukur, Pengantar Ilmu Fikih dan Ushul Fikih, (Surabaya: Bina Ilmu, 1990), Dahlan,  Abd. Rahman, Ushul Fiqh, cet. 1, Jakarta: Amzah, 2010.

Jazuli, dkk, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.

Khallaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fiqh, Kuwait: An-Nasyr Wattawzi’, 1978.

M. Zein,  Satria Effendi, Ushul Fiqh, ed. 1, cet. 2, Jakarta: Kencana, 2008.

Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh,  jalid 2, cet. 4, Jakarta: Kencana, 2008.

Umam, Khairul, dkk, Ushul Fiqih I, cet. 2, Bandung: Pustaka Setia, 2000.

Zaedan, Abdul Karim, Al-Wajiz Fi Ushul Fiqh, Beirut: Muassasah Ar-Risalah,1996.

Shohih bukhari

Shohih muslim

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH Bacaan Ghoroib & Musykilat Qur’an