MAKALAH FATWA SAHABAT / QAULU AS SHAHABI
MAKALAH
FATWA SAHABAT / QAULU AS SHAHABI
Disusun guna memenuhi tugas Mata kuliyah : Ushul Fiqih
Dosen Pengampu : Ahmad Saifudin, M. S.I

Disusun oleh :
M Muhamin ( 19.01.874)
PROGAM STUDI ILMU ALQUR’AN DAN TAFSIR
STAIA SYUBBANUL WATHON
MAGELANG
2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Al
Qur’an dan As Sunnah merupakan sumber hukum syar’i dan juga disebut pula dalil
(petunjuk) utama hukum Islam. Dan sumber dalil hukum islam dikelompokkan
menjadi dua yaitu yang disepakati dan yang masih diperselisihkan oleh Jumhur
ulama. Adapun yang telah disepakati adalah Al-qur’an dan Sunnah, serta Ijma’
dan qiyas sedangkan 7 dalil hukum islam yang masih menjadi perselisihan Jumhur
ulama yaitu : Mashalihul Mursalah, Istihsan, Saddudz Dzari’ah, ‘Urf, Istishab,
Mazhab Shahabi/ Fatwa Sahabat dan Syar’u Man Qablana.
Adanya
sumber hukum yang masih diperdebatkan karena perbedaan metode atau tata cara
merumuskan hukum atas suatu perbuatan atau permasalahan, terutama pada
perbuatan atau masalah yang tidak disebutkan dan/atau diatur secara rinci dalam
Al-Qur’an dan Hadits.
Ushul
fiqh sebagai disiplin ilmu mandiri adalah ilmu yang menerangkan tentang kaidah-kaidah
dan pembahasan–pembahasan yang dapat mengantarkan pada penggalian hukum
syari’ah amaliyah dari dalil-dalilnya yang terperinci. Salah satu objek kajian
Ushul fiqh adalah sumber dan dalil hukum syar’I. Dan dalam makalah kami ini
pembahasan lebih terfokus kepada Fatwa Sahabat
B. Rumusan
Masalah
a.
Apa
yang dimaksud dengan Fatwa Sahabat?
b.
Apa
saja macam-macam dari Fatwa Sahabat?
c.
Bagaimana
contoh fatwa sahabat ?
d.
Bagaimana
Pendapat ulama’ 4 madzhab tentang Qaul Shahabi / Fatwa Sahabat ?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Fatwa Sahabat / Pendapat Sahabat / Qaul al-Shahabi
Dalam beberapa literatur kitab ushul fiqh, ada perbedaan
penyebutan untuk
qaulu shahabi. Ada yang memakai fatwa shahabi, ada juga yang memakai mazhab shahabi, namun esensi penjelasannya
adalah sama.
a.
Pengertian Sahabat & Fatwa Sahabat
Dari
segi bahasa Arab As-shahabi adalah mufrad dari shahabat, yang diambil dari
kata-kata shahiba-yashahabu-shuhbatan dan shahabatan yang
bermakna bergaul dengan seseorang (1)
Secara istilah Sahabat adalah orang orang yang bertemu
Rasulullah saw, yang lagsung menerima risalahnya, da mendengarka penjelasan
langsung dari beliau sendiri. Oleh karna itu jumhur fuqaha’ telah menetapkan
bahwa pendapat mereka dapat dijadikan hujjah sesudah dalil dalil
nash. (2)
Menurut ulama’ usul fiqh sahabat ialah
mereka yang bertemu dengan nabi Muhammad s.a.w. dan beriman dengannya,
bersahabat dengannya dalam tempo masa yang agak panjang dan mengambil ilmu
darinya sehingga wajar dikatakan ia sebagai sahabat atau teman rapat dari segi
urufnya seperti Khulafa’al-Rasyidin, Ibnu Abbas,Saidatina Aisyah dan lain-lain
Menurut para ulama’ muhadditsin sahabat ialah
orang yang bertemu dengan Nabi s.a.w., beriman kepadanya dan mati dalam keadaan
Islam, Menurut para Ushuliyyin pula, sahabat adalah
setiap orang yang beriman kepada Nabi s.a.w., bergaul dengannya dalam waktu
yang lama dan mati dalam keadaan Islam. Menurut Al-Baqilani dan beberapa ulama
lainnya, seperti Ibnu Faruk dan Ibnu Sam’an
bahwa sahabat adalah orang yang lama pergaulannya dengan Nabi Muhammad
s.a.w. dan banyak berguru dengan baginda Rasulullah dengan cara mengikutinya
dan mengambil pengajarannya.
Fatwa sahabat adalah pendapat
sahabat Rasulullah saw tentang suatu kasus dimana hukumnya tidak dijelaskan
secara tegas dalam Alqur’an maupun sunnah /hadits Nabi
Adapun dalil” yang ditetapkan oleh Jumhur fuqaha bahwa pendapat
sahabat boleh dibuat hujjah adalah sbb :
1.
Dalil Naqli :
Firman Allah :
وَالسَّابِقُونَ
الأَوَّلُونَ مِنَ المُهَاجِرِينَ وَالأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحسَانٍ
رَضِيَ اللهُ عَنهُ وَرَضُو عَنهُ
Dan orang orag yag terdahulu lagi pertama tama (masuk islam)
diantara orang orang Muhajirin dan Ansar dan orang orang yang mengikuti mereka
denga baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah. (3)
1 Alfiurzabadi
Muhammad bin ya’qub Qamus Almuhit, Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 2005.
Cet 8 hal 104
2
3Q.S
Attaubah ayat 100
Sabda Nabi saw :
أَنَا
أَمَانٌ لِأَصحَابِى وَاَصحَابِى أَمَانٌ لِأُمَّتِى
“Saya adalah kepercayaan (orang yang dipercaya)
sahabatku,sedang sahabatku adalah kepercayaan umatku”.
2.
Dalil Aqli :
1.
Para
sahabat adalah Orang-orang yang lebih dekat kepada Rasul dibanding orang lain.
Dengan demikian, mereka lebih mengetahui tujuan-tujuan syara’, Lantaran mereka
menyaksikan langsung tempat dan waktu turunnya Alqur’an, mempunyai keikhlasan
dan penalaran Tinggi, ketaatan yang mutlak kepada petunjuk-petunjuk
Nabi, serta mengetahui situasi dimana nash-nash Alqur’an diturunkan.
Oleh karna itu, fatwa-fatwa mereka lebih layak untuk diikuti.
2.
Pendapat-pendapat
yang dikemukakan para sahabat sangat mungkin sebagai bagian dari sunnah Nabi
dengan alasan mereka sering menyebutkan hukum-hukum yang dijelaskan oleh
Rasullullah SAW. Tanpa menyebabkan bahwa hal itu datang dari Nabi, karna tidak
ditanya sumbernya. Dengan kemungkinan tersebut, disamping pendapat merekaselalu
didasarkan pada qiyas atau penalaran maka pandangan mereka lebih berhak
untukdiikuti, karna pandangan tersebut kemungkinan besar berasal dari nash
(Hadits) serta sesuai dengan daya nalar (rasional).
3.
Jika
pendapat para sahabat didasarkan pada qiyas, sedang para ulama yang hidup
sesudah merekajuga menetapkan hokum berdasarkan qiyas yang berbeda dengan
pendapat sahabat, maka untuk lebih berhati-hati, yang kita ikuti adalah
pendapat para sahabat karna Rasullullah bersabda : “Sebaik-baik generasi,
adalah generasiku dimana aku diutus oleh Allah dalam generasi tersebut”. (4)
b.
Macam-Macam Fatwa Sahabat
Setelah
Rasulullah wafat, yang memberikan fatwa kepada orang banyak pada waktu itu
ialah Jemaah Sahabat. Mereka adalah orang-orang yang paling dekat dengan
Rasulullah disbanding orang lain. Dengan demikian mereka lebih mengetahui
tujuan-tujuan syara’ lantaran mereka menyaksikan langsung tempat dan waktu
turunnya Al-Quran. Oleh karena itu, banyak kita dapatkan fatwa-fatwa sahabat
yang secara tegas tidak dinyatkan dalam al-Quran dan Sunnah. Dalam hal ini,
Abdul Karim Zaidan (ulama’ kontemporer) membagi Pendapat atau Fatwa sahabat ke
dalam empat kategori : (5)
1.
Fatwa
sahabat yang hukan merupakan hasil ijtihad. Misalnya, fatwa Ibnu Mas’ud bahwa
batas minimal waktu haid tiga hari dan batas minimal mas kawin sebanyak sepuluh
dirham. Fatwa-fatwa semacam ini bukan merupakan bukan hasil ijtihad para
sahabat dan besar kemungkinan hal itu mereka teriam dari Rasulullah. Oleh
karena itu, fatwa-fatwa semacam ini disepakati menjadi landasn hukum bagi
generasi susadahnya.
2.
Fatwa
sahabat yang disepkati secara tegas di kalangan mereka dikenal dengan Ijma
Sahabat. Fatwa semacam ini menjadi pegangan bagi generasi sesudahnya.
3.
Fatwa
sahabat secara perorangan tidak mengikat sahabat yang lain. Para mujtahid
dikalangan sahabat memang sering berbeda pendapat dalam satu masalah karena
adanya perbedaan tempat dan kondisi di antara mereka.
4.
Fatwa
sahabat secara perorangan yang didasarkan oleh Ra’yu dan Ijtihad.
4 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh,
cet. 1, (Jakarta: Amzah, 2010), hal. 228.
5 Satria Effendi, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2005), Hal 169 -170, Cet. III
Ulama berbeda pendapat tentang fatwa sahabat secara perorangan tersebut
yang merupakan hasil ijtihad, apakah mengikat generasi sesudahnya atau tidak.
Jelasnya, fatwa-fatwa sahabat itu tidak keluar dari lima kemungkinan berikut
ini: (6)
1.
Fatwa
tersebut mereka dengar langsung dari rasulullah SAW,
2.
Fatwa
tersebut mereka dengar dari sahabat yang mendengarkan dari fatwa Rasulullah,
3.
Fatwa
terssebut mereka pahami dari ayt-ayat suci al-Quran yang tidak jelas,
4.
Fatwa
tersebut telah mereka sepakati akan tetapi hanya disampaikan oleh seorang
mufti,
5.
Fatwa
tersebut merupakan pendapat sahabat secara pribadi.
c.
Contoh contoh fatwa sahabat
(۱) عن رفاعة بن رافع رضي الله عنه قال : كنا يومًا نصلي وراء
النبي صلى الله عليه وآله وسلم فلما رفع رأسه من الركعة قال: «سَمِعَ اللهُ لِمَنْ
حَمِدَهُ»، قَالَ رَجُلٌ وَرَاءَهُ: رَبَّنَا وَلَكَ الحَمْدُ حَمْدًا كَثِيرًا
طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ، فَلَمَّا انْصَرَفَ، قَالَ: «مَنِ المُتَكَلِّمُ»
قَالَ: أَنَا، قَالَ: «رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِينَ مَلَكًا يَبْتَدِرُونَهَا
أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلُ (رواه البخارى )
Artinya, “Rifa’ah bin Rafi’
berkata, ‘Kami pernah shalat bersama Rasulullah, saat bangun dari ruku’ ia
membaca, ‘Sami’allahu liman hamidah.” Tiba-tiba ada seorang sahabat yang
membaca, ‘Rabbana wa lalakal hamd hamdan katsiran tayyiban mubarakan fihi
(wahai Rabb kami, bagi-Mu segala puji, aku memuji-Mu dengan pujian yang banyak,
yang baik dan penuh dengan berkah). Setelah selesai shalat, Rasul bertanya,
‘Siapa yang mengucapkan kalimat itu?’ Sahabat itu berkata, ‘Saya Rasulullah.’
Kemudian Rasulullah berkata, ‘Saya melihat sekitar tiga puluhan malaikat
berloma-lomba untuk siapa pertama kali yang mencatat (pahalanya),’” (HR
Al-Bukhari).
(۲) عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَنَّ
رَسُوْلَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ لِبِلاَلٍ: «يَا بِلاَلُ،
حَدِّثْنِي بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِي الإِسْلاَمِ، فَإنِّي سَمِعْتُ دَفَّ
نَعْلَيْكَ بَيْنَ يَدَيَّ في الجَنَّةِ» قَالَ: مَا عَمِلْتُ عَمَلًا أَرْجَى
عِنْدِي مِنْ أَنِّي لَمْ أَتَطَهَّرْ طُهُوْرًا فِي سَاعَةٍ مِنْ لَيْلٍ أَوْ
نَهَارٍ إِلاَّ صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطُّهُورِ مَا كُتِبَ لِي أَنْ أُصَلِّ.
مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ ، وَهَذَا لَفْظُ البُخَارِي . «الدَّفُّ» بِالفَاءِ: صَوْتُ
النَّعْلِ وَحَرَكَتُهُ عَلَى الأَرْضِ،
Dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata kepada Bilal, “Wahai Bilal, ceritakanlah
kepadaku tentang satu amalan yang engkau lakukan di dalam Islam yang paling engkau
harapkan pahalanya, karena aku mendengar suara kedua sandalmu di surga.”
Bilal menjawab, “Tidak
ada amal yang aku lakukan yang paling aku harapkan pahalanya daripada aku
bersuci pada waktu malam atau siang pasti aku melakukan shalat dengan wudhu
tersebut sebagaimana yang telah ditetapkan untukku.” (Muttafaqun ‘alaih.
Lafal hadits ini adalah milik Bukhari) Ad-daffu adalah suara
sandal dan gerakannya di atas tanah, wallahu
a’lam. (7)
6 M. Abu
Zahrah, Ushul Fiqih (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus,
2011), Hal 331, Cet. XIV
Dan (I’lam al-Muwaqqiin, juz
1, hal. 248)
7 HR. Bukhari, no. 443 dan Muslim, no.
715
(۳) diriwayatkan oleh Imam Bukhari tentang sahabat Khubaib yang
melakukan shalat dua rakaat sebelum beliau dihukum mati oleh kaum kafir
Quraisy. Kemudian tradisi ini disetujui oleh Rasulullah SAW setahun setelah
meninggalnya.
(٤) Demikian juga, sebuah hadis yang diriwayatkan dalam Mushannaf
Abdur Razaq dan Imam An-Nasa'i dari Ibn Umar bahwa seorang sahabat memasuki
masjid di saat ada shalat jamaah. Ketika dia bergabung ke dalam shaf orang yang
shalat, sahabat itu berkata:
اللهُ اَكبَر كَبِيرَا وَالحَمدُ للهِ كَثِيرًا وَسُبحَانَ
اللهِ بُكرَةً وَاَصِيلًا
Allah Mahabesar sebesar-besarnya, dan segala puji hanya bagi
Allah sebanyak-banyaknya, dan Mahasuci Allah di waktu pagi dan petang.
Maka Rasulullah SAW memberikan
kabar gembira kepada sahabat tersebut bahwa pintu pintu langit telah dibukakan untuknya.
(۵) diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Imam An-Nasa'i dari
beberapa sahabat yang duduk berzikir kepada Allah. Mereka mengungkapkan
puji-pujian sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah karena diberi hidayah
masuk Islam, sebagaimana mereka dianugerahi nikmat yang sangat besar berupa
kebersamaan dengan Rasulullah SAW. Melihat tindakan mereka, Rasulullah SAW
bersabda: "Sesungguhnya Jibril telah memberitahuku bahwa Allah sekarang
sedang berbangga-bangga dengan mereka di hadapan para malaikat."
Dari tindakan
Rasulullah SAW yang menerima perbuatan para sahabat tersebut, kita bisa menarik
banyak pelajaran sebagai berikut:
1.
Rasulullah SAW tidak akan menolak tindakan yang dibenarkan
syariat selama para pelakunya berbuat sesuai dengan pranata so sial yang
berlaku dan membawa manfaat umum. Dengan demikian, perbuatan tersebut bisa
dianggap sebagai bentuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Swt yang bisa
dilakukan kapan saja, baik di malam maupun siang. Perbuatan ini tidak bisa
disebut sebagai perbuatan yang makruh, apalagi bid'ah yang sesat.
2.
Orang Islam tidak dipersoalkan karena perbuatan ibadah yang
bersifat mutlak, yang tidak ditentukan waktunya dan tempatnya oleh syariat.
Terbukti bahwa Rasulu1lah SAW telah membolehkan Bilal untuk melakukan shalat
setiap selesai bersuci, sebagaimana menerlma perbuatan Khubaib yang shalat dua
rakaat sebelum menjalani hukuman mati di tangan kaum kafir Quraisy.
3.
Tindakan Nabi SAW yang membolehkan bacaan doa-doa waktu
shalat, dan redaksinya dibuat sendiri oleh para shahabat, atau juga tindakan
beliau yang membolehkan dikhususkannya bacaan surat-surat tertentu yang tidak
secara rutin dibaca oleh beliau pada waktu shalat, tahajjud, juga doa-doa
tambahan lain. Itu menunjukkan bahwa semua perbuatan tersebut bukanlah bid'ah
menurut syariat. Juga tidak bisa disebut sebagai bid'ah jika ada yang berdoa
pada waktu-waktu yang mustajabah, seperti setelah shalat lima waktu, setelah
adzan, setelah merapatkan barisan (dalam perang), saat turunnya hujan, dan
waktu-waktu mustajabah lainnya. Begitu juga doa-doa dan puji-pujian yang
disusun oleh para ulama dan orang orang shalih tidak. bisa disebut sebagai
bid'ah. Begitu juga zikir-zikir yang kemudian dibaca secara rutin selama isinya
masih bisa dibenarkan oleh syariat.
4.
Dari persetujuan Nabi SAW terhadap tindakan beberapa sahabat
yang berkumpul di masjid untuk berzikir dan menyukuri nikmat dan kebaikan Allah
Swt serta untuk membaca Al-Qur'an, dapat disimpulkan bahwa tindakan mereka
mendapatkan legitimasi syariat, baik yang dilakukan dengan suara pelan ataupun
dengan suara keras tanpa ada perubahan makna dan gangguan. Dan selama tindakan
tersebut bersesuaian dengan kebutuhan umum dan tidak ada larangan syariat yang
ditegaskan terhadapnya, maka perbuatan tersebut termasuk bentuk mendekatkan
diri kepada Allah, dan bukan termasuk bid'ah menurut syariat.
d.
Pendapat ulama’ 4 madzhab tentang Qaul Shahabi / Fatwa Sahabat
Para Imam mazhab yang empat sepakat
menjadikan qaul al-Shahabi sebagai rujukan terhadap masalah-masalah yang
bukan merupakan wilayah ijtihad. Sebab dalam masalah-masalah
yang bukan merupakan wilayah ijtihad, qaul al-Shahabi dipandang
berkedudukan sebagai al khabar at-tawqifi (informasi keagamaan
yang diterima tanpa reserve) yang bersumber dari Rasulullah. (8)
1.
Imam Abu Hanifah
Adapun
sumber hokum ijtihad yang pokok Abu Hanifah yaitu
apabila tidakterdapat dalam Alquran, ia merujuk pada sunnah Rasul dan atsar yang shahih yang diriwayatkan oleh orang orang yang tsiqah. Dan bila tidak mendapatkan
padakeduanya, maka ia akan merujuk pada qaul sahabat, dan apabila sahabat ikhtilaf, maka ia akan mengambil
pendapat dari sahabat manapun yang ia kehendaki. Dalamhal ini, Abu Hanifah
telah berkata:
“Jika
kami tidak menjumpai dasar -dasar hukumdari al-Qur‟an dan hadist, maka
kami mempergunakan fatwa-fatwa sahabat. Pendapat para sahabat tersebut,
ada yang diambil , ada pula yang kami tinggalkan. Akan
tetapi kami tidak akan beralih dari pendapat mereka kepada selain mereka.”
2.
Imam Syafi’i
Diriwayatkan oleh ar- Rabi‟, bahwa Imam Syafi‟i
berkata dalam kitab al Risalahnya sebagai berikut:“Suatu
ketika kami menjumpai para ulama mengambil pendapat seorang
sahabat, sementara pada waktu yang lain mereka meninggalkannya. Mereka berselisihterhadap
sebagian pendapat yang diambil dari para sahabat. ” Kemudian seorang teman diskusinya bertanya:“Bagaimanakah
sikap anda terhadap hal ini?”. Dia menjawab:“Jika kami tidak menemukan
dasar - dasar hukum dari al-Qur‟an, sunah,ijma‟, dan sesamanya, maka kami
mengikuti pendapat salah seorang sahabat” (9)
8
Abd.
Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, cet. 1, (Jakarta: Amzah, 2010), hal. 226.
9 M. Abu Zahrah, Ushul Fiqih (Jakarta: PT. Pustaka
Firdaus, 2011), Hal 332, Cet. XIV
Diriwayatkan juga oleh ar-Rabi‟, bahwa Imam Syafi‟i di
dalam kitab al -Umm berkata:“Jika kami tidak
menjumpai dasar dasar hukum dalam al-Qur‟an dan sunnah, maka kami kembali kepada pendapat
para sahabat atau salah seorang dari mereka. Kemudian jika kami harus bertaqlid, maka kami lebih senang kembali
(mengikuti) pendapat Abu Bakar, Umar atau Usman. Karena jika kami
tidakmenjumpai dilalah dalam ikhtilaf yang menunjukan pada ikhtilaf yang lebih
dekatkepada al-Qur‟an dan sunnah, niscaya kami mengikuti pendapat yang
mempunyai dilalah”
(10)
3.
Imam Malik bin Anas
Imam Malik RA dalam kitabnya al- Muwaththa‟
banyak sekali hukum-hukum yang didasarkan pada fatwa-fatwa
sahabat. Metode Ijtihad Imam Malik bin Anas : Al- Qur‟an, Hadits (termasuk hadits dhaif yang diamalkan penduduk Madinah), Ijma’,
Atsar yang diamalkan penduduk
Madinah. Qiyas dan Mashlahah Mursalah (keluar dari Qiyas umum karena
alasan mencari maslahat)
Kitab
Kitab Mazhab Maliki, Kitab Hadits,
Al Muwatta‟, Syada‟id Abdullah bin
Umar (Pendapat-pendapat Abdullah bin Umar yang keras), Rukhas Abdullah bin Abbas
(Pendapat-pendapat Abdullah bin Abbasyang ringan), Shawazh Abdullah Ibnu Mas‟ud (Pendapat-pendapat Abdullah bin Mas‟ud). (11)
4.
Imam Ahmad bin Hanbal
sumber hukum yang dijadikannya
sebagai landasan yaitu Alquran,
sunnah, qaul shahabi yang tidak bertentangan, hadis mursal ,
hadis dhaif, qiyas dan sadz al dzar‟ .Imam Hanbal lebih mengutamakan hadis mursal atau hadis dhaif dari pada qiyas. Sebab, beliau tidak akan
menggunakan qiyas kecuali dalam keadaan sangat
terpaksa.Demikian juga halnya dengan qaul shahabi, beliau tidak menyukai fatwa bila tanpa didasarkan pada atsar . Apabila dalam Alquran dan
sunnah tidak didapati dalil yang
dicari maka beliaumenggunakan fatwa para sahabat Nabi yang tidak ada
perselisihan diantara mereka. Namun jika tidak ditemui dalam
fatwa tersebut, maka beliau mengunakan hadis
mursal dan dhaif. Bila masih tidak ditemukan
juga, maka barulah beliau mengqiyas kannya.
10 (al-Umm, juz 7, hal. 247 ) dan Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, cet.
12, hal. 332-334.
11Asywadie Syukur, Pengantar Ilmu Fikih dan Ushul Fikih,
(Surabaya: Bina Ilmu, 1990), hlm. 122.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasa yag telah kai paparkan
diatas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
Yang dimaksud dengan fatwa sahabat ialah pendapat sahabat Rasulullah SAW.
tentang suatu kasus dimana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam Al-Qur’an
dan sunnah Rasulullah, dan dinukil para ulama baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum.
Dimana ayat dan hadits tidak menjelaskan hukum atas permasalahan yang dihadapi
oleh para sahabat tersebut.
Menurut
Abu Hanifah, perselisihan antara dua orang sahabat mengenai hukum sutau
kejadian sehingga terdapat dua pendapat, bisa dikatakan ijma’ di antara keduanya.
Maka kalau keluar dari pendapat mereka secara keseluruhan berarti telah keluar
dari ijma’ mereka.
Sedangkan
Imam Syafi’i berpendapat bahwa pendapat orang tertentu dikalangan sahabat tidak
dipandang sebagai hujjah, bahkan beliau memperkenankan untuk menentang pendapat
mereka secara keseluruhan dan melakukan ijtihad untuk mengistinbat pendapat lain. Dengan alasan
bahwa pendapat mereka adalah pendapat ijtihadi secara perseorangan dari orang
yang tidak ma’sum (tidak
terjaga dari dosa).
Imam
Malik RA dalam kitabnya al- Muwaththa‟
banyak sekali hukum-hukum yang didasarkan pada fatwa-fatwa
sahabat. Dan imam ahmad bin hanbal Imam Hanbal lebih mengutamakan hadis mursal atau hadis dhaif dari pada qiyas. Sebab, beliau tidak akan
menggunakan qiyas kecuali dalam keadaan sangat
terpaksa.Demikian juga halnya dengan qaul shahabi, beliau tidak menyukai fatwa bila tanpa didasarkan pada atsar .
Tidak
semua ulama sepakat untuk mengambil dan mengikuti mazhab sahabat sebagi hujjah dalam
menetapkan suatu hukum. Akan tetapi sebagaimana dijelaskan oleh Syeikh Muhammad
Abu Zahrah jumhur ulama mengikuti dan mengambil madzhab Sahabat sebagi hujjah dalam istimbath hukum,
terutama Imam mazhab yang empat (Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafi’i, dan
Imam Hanbali).
DAFTAR PUSTAKA
Alqur’an dan terjemahnya Cet. Menara qudus
Abu Zahrah, Muhammad, Ushul Fiqh, cet. 12,
Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008.
Alfiurzabadi Muhammad bin ya’qub Qamus Almuhit, Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 2005. Cet 8
Asywadie Syukur, Pengantar Ilmu Fikih dan Ushul Fikih,
(Surabaya: Bina Ilmu, 1990), Dahlan, Abd.
Rahman, Ushul Fiqh, cet. 1, Jakarta: Amzah, 2010.
Jazuli, dkk, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.
Khallaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fiqh, Kuwait:
An-Nasyr Wattawzi’, 1978.
M. Zein, Satria Effendi, Ushul Fiqh,
ed. 1, cet. 2, Jakarta: Kencana, 2008.
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, jalid 2,
cet. 4, Jakarta: Kencana, 2008.
Umam, Khairul, dkk, Ushul Fiqih I, cet. 2,
Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Zaedan, Abdul Karim, Al-Wajiz Fi Ushul Fiqh,
Beirut: Muassasah Ar-Risalah,1996.
Shohih bukhari
Shohih muslim
Komentar
Posting Komentar