MAKALAH Bacaan Ghoroib & Musykilat Qur’an
MAKALAH
Bacaan
Ghoroib & Musykilat Qur’an
Disusun guna memenuhi tugas Mata kuliyah: Ilmu Tajwid & Tahfidz
Alqur’an
Nama Dosen : Wilna Wafirah,
M.Pd
Disusun oleh :
M Muhamin ( 19.01.874)
Muhammad Fadhil Muntu
PROGAM STUDI ILMU ALQUR’AN DAN TAFSIR
STAIA SYUBBANUL WATHON
MAGELANG
2020
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Berbicara tentang Alqur’an memang bagai lautan yang tak bertepi,
semakin jauh ia dikejar semakin luas pula jangkauannya. Dari aspek manapun
al-qur’an dikaji dan diteliti, ia tidak pernah habis atau basi, bahkan semakin
kaya dan selalu aktual. Mungkin itulah salah satu mukjizat yang terpancar dari
kitabullah sebagai bukti kebenaran risalah Allah yang dititipkan pada
Rasul-Nya, yaitu al-Islam.
Aspek bacaan al-Qur’an atau qiraah dalam pengertian yang luas,
bukan hanya sekedar melafalkan huruf Arab dengan lancar, akan tetapi juga
merupakan salah satu aspek kajian yang paling jarang diperbincangkan, baik oleh
kalangan santri maupun kaum terpelajar umumnya. Antusiasme para “santri” dalam
mempelajari dan mencari dalil-dalil fiqh, baik dari al-Qur’an, hadis ataupun
dari pendapat-pendapat ulama, ternyata tidak diikuti oleh semangat mentashihkan
bacaan atau mencari jawaban tentang apa dan mengapa ada bacaan saktah,
madd, ghunnah yang sama-sama wajib (kifayah) dipelajari bagi kaum muslimin.
Dari fenomena di atas perlu ditumbuhkan kembali semangat untuk mengkaji
aspek bacaan al-Qur’an yang masih “misteri” bagi kebanyakan orang
sebagaimana semangatnya anak-anak kecil di tempat-tempat pendidikan al-Qur’an
untuk bisa “membaca” dengan lancar.
Sebagai akibat dari kurangnya informasi yang memadai tentang
bacaan al-Qur’an, bagi kebanyakan orang, ilmu qiraah (yang dipersempit dengan
ilmu tajwid) dianggap hanya mempelajari makhraj dan sifat huruf, hukum nun atau
mim mati dan tanwin, dan mad saja, lalu mereka membaca al-Qur’an apa adanya
sebagaimana yang terdapat dalam tulisan mushaf atau rasm , padahal banyak
kalimat yang cara bacanya tidak sama persis dengan tulisannya, seperti bacaan
imalah, tashil, isymam dan lain sebagainya.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Gharaib
al-Qur’an?
2. Apa saja bacaan Gharib dalam
al-Qur’an?
3. Bagaimana cara menafsirkan ayat-ayat
yang Gharib?
4. Apa faedah mengetahui Gharaib
al-Qur’an?
C.
Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui pengertian Gharaib
al-Qur’an.
2. Untuk mengetahui
macam-macam bacaan Gharib dalam al-Qur’an.
3. Untuk mengetahui cara menafsirkan
ayat-ayat yang Gharib.
4. Untuk mengetahui faedah
mengetahui Gharaib al-Qur’an.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Gharaib al-Qur’an
Lafadz gharaib berasal
dari bahasa arab, yakni bentuk jamak dari lafadz gharibah yang
berarti asing, tersembunyi, samar atau sulit pengertiannya.
Sedangkan
menurut istilah Ulama qurra’, gharib artinya
sesuatu yang perlu penjelasan khusus dikarenakan samarnya pembahasan atau
karena peliknya permasalahan baik dari segi huruf, lafadz, arti maupun
pemahaman yang terdapat dalam Al-Qur’an. Jika dihubungkan dengan al qur’an maka
yang dimaksud dengan Gharaib al-Qur’an adalah ayat-ayat al
qur’an yang sukar pemahamannya sehingga hampir-hampir tidak dapat dimengerti
maknanya, seperti lafadz أَبَّا dalam ayat 31 dari
surat ‘Abasa (وَفَاكِهَةً وَّ أَبَّا).1
Banyak
lafadz dalam ayat-ayat Al-qur’an yang aneh bacaannya. Maksud aneh adalah ada
beberapa bacaan tulisan Alqur’an yang tidak sesuai dengan kaidah aturan membaca
yang umum atau yang biasa berlaku dalam kaidah bacaan bahasa arab. Hal ini
menunjukkan adanya keistimewaan Alqur’an yang mengandung kemukjizatan yang
sangat tinggi, disinilah letak kehebatannya sehingga kaum sastrawan tidak mampu
menandinginya. Dari segi tulisan, mushaf yang kita terima ini tidak ada masalah
karena telah dipersatukan tulisannya oleh khalifah Usman.2
Hal
ini bukanlah hal yang baru, pernah terjadi pada masa Nabi SAW. sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Anas, sesungguhnya Umar bin Khottob RA. membaca ayat وَفَاكِهَةً وَّ أَبَّا diatas mimbar,
lalu beliau berkata “Adapun buah (fakihah) telah kita ketahui, sedang
apa yang dimaksud dengan al abba?” lalu beliau berfikir,
kemudian beliau mengembalikan pada dirinya sendiri dan ada yang berkata “hal
ini terlalu berberat diri wahai Umar”. Beliau tidak mengetahui makna dari
kata “al abba”, padahal beliau adalah orang arab yang ahli dalam
bidang sastra arab dan yang memiliki bahasa yang paling fasih serta al qur’an
diturunkan kepada manusia dengan menggunakan bahasanya.
Dari
peristiwa di atas dapat diketahui bahwa gharaib al qur’an bukanlah
hal yang baru, dan memang suatu hal yang sangat sulit dipahami secara langsung,
bahkan ulama’ tedahulu tidak mau memberi makna apalagi menafsiri ayat yang
sulit dipahami. Mereka lebih memilih untuk me-mauqufkan-nya dan tidak
berpendapat sedikitpun, karena keterhati-hatiannya. Seperti ungkapannya
shahabat Abu Bakar RA. saat ditanya tentang firman Allah yang berbunyi وَفَاكِهَةً وَّ أَبَّا , beliau berkata “
di langit mana aku berteduh dan di bumi mana aku tinggal, jika aku berkata
sesuatu di dalam al qur’an yang aku tidak mengetahuinya”.3
Menurut
Abu Sulaiman al-Khotthobi : Gharib al qur’an adalah suatu hal
yang samar dan jauh dari kepahaman. Beliau membagi gharib al qur’an menjadi
dua, yang pertama adalah hal yang jauh makananya serta samar, yang hanya dapat
dipahami setelah melalui proses pemikiran yang mendalam. Sedangkan yang
kedua adalah perkataan seseorang yang rumahnya jauh dari kabilah arab sehingga
jika kalimat tersebut diungkapkan kepada kita (orang arab) maka otomatis kita
langsung menganggapnya aneh.
1Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005) h. 267.
2Abdul Majid Khan, Praktikum Qira’at (Jakarta:
Amzah, 2008), h. 100.
3 Imam Jalaluddin As Suyuthi, Al Itqon fi Ulumil Qur’an,
diterjemahkan oleh Farikh Marzuqi Ammar dan Imam Fauzi Ja’iz
dengan judul Samudra Ulumul Qur’an {Al-Itqan fi Ulumil Qur’an} (Surabaya:
PT Bina Ilmu Surabaya, 2006), h. 2.
Sedangkan
menurut Muchotob Hamzah Gharib al qur'an adalah Ilmu
al-qur’an yang membahas mengenai arti kata dari kata-kata yang ganjil dalam
al-qur’an yang tidak biasa digunakan dalam percakapan sehari-hari.4
Dari ketiga definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa Gharib
al-qur’an adalah ilmu yang membahas suatu makna kata dari ayat al-qur’an yang
dianggap aneh (tidak cocok) dan sulit dipahami.
B.
Macam-macam Bacaan Gharib dalam al-Qur’an
Di dalam al-qur’an
banyak dijumpai bacaan gharib, diantara macam-macamnya adalah sebagai berikut:
1. Saktah
Saktah menurut
bahasa artinya diam, tidak bergerak. Sedangkan menurut istilah ilmu qira’ah, saktah
yaitu berhenti sejenak sekedar satu alif tanpa bernafas dengan niat melanjutkan
bacaan. Di dalam Al-Qur'an ada 4 bacaan saktah, yaitu: (1) Surat al-Kahfi: ayat
1-2, (2) Surat Yasin: ayat 52, (3) Surat al-Qiyamah: ayat 27, dan (4) Surat
al-Muthaffifin: ayat 14.5
Berikut ini contoh-contoh bacaan saktah
dalam sebuah ayat yang lengkap:
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَى عَبْدِهِ الْكِتَابَ
وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجَا س(1) قَيِّمًا لِيُنْذِرَ
قَالُوا
يَا وَيْلَنَا مَنْ بَعَثَنَا مِنْ مَرْقَدِنَا سهَذَا مَا وَعَدَ الرَّحْمَنُ
وَصَدَقَ الْمُرْسَلُونَ (52)
وَقِيلَ مَنْ سرَاقٍ (27)
كَلاَّ بَلْ سرَانَ عَلَى
قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ (14)
a. Saktah pada QS. Al-Kahfi: 1, menurut segi kebahasaan susunan
kalimatnya sudah sempurna. Dengan kata lain, jika seorang qari’ membaca
waqaf pada lafadz عِوَجًا, sebenarnya sudah tepat karena sudah
termasuk waqaf tamm. Namun apabila dilihat dari kalimat sesudahnya,
ternyata ada lafadz قَيِّمَا sehingga arti
kalimatnya menjadi rancu atau kurang sempurna. Lafadz قَيِّمَا bukanlah menjadi sifat/na’at dari
lafadz عِوَجًا, melainkan menjadi hal atau maf’ul
bihnya lafadz lafadz عِوَجًا. Apabila lafadz قَيِّمَا menjadi na’atnya lafadz عِوَجًا akan mempunyai arti : “Allah tidak
menjadikan al-Quran sebagai ajaran yang bengkok serta lurus”.
Sedangkan apabila menjadi hal atau maf’ul bih akan
menjadi : “Allah tidak menjadikan al-Quran sebagai ajaran yang bengkok,
melainkan menjadikannya sebagai ajaran yang lurus “. Menurut Ad-Darwisy,
kata قَيِّمًا dinashabkan
sebagai hal (penjelas) dari kalimat وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجًا , sedang
Az-Zamakhsyari berpendapat bahwa kata tersebut dinashabkan lantaran
menyimpan fi’il berupa ” جَعَلَهُ “. Berbeda juga dengan pendapat Abu Hayyan,
menurutnya kata قَيِّمًا itu badal
mufrad dari badal jumlah “وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجًا “. Tidak
mungkin seorang qari’ memulai bacaan (ibtida’)
dari قَيِّمًا, sebagaimana juga tidak dibenarkan
meneruskan bacaan (washal) dari ayat sebelumnya. Dengan pertimbangan
alasan-alasan diatas, baik diwaqafkan maupun diwashalkan sama-sama kurang
tepat, maka diberikanlah tanda saktah.
b. Pada saktah QS.
Yaasiin: 52 di dalam kalimat: مِنْ مَرْقَدِنَا سكتة هَذَا مَا وَعَدَ الرَّحْمَنُ. Menurut Ad-Darwisy lafadz هٰذَا itu mubtada’ dan khabarnya adalah
lafadz مَا وَعَدَ
الرَّحْمَنُ . Berbeda halnya dengan pendapat
Az-Zamakhsyari yang menjadikan lafadzهٰذَا itu na’at dari مَرْقَدِ, sedangkan مَا sebagai mubtada’ yang khabarnya
tersimpan, yaitu lafadz حق atau هٰذَا. Dari segi makna, kedua
alasan penempatan saktah tersebut sama-sama tepat.
4 Muchotob Hamzah, Studi Al-Qur'an Komprehensif (Yogyakarta:
Gama Media, 2003), h. 167.
5 Koordinator Kecamatan Purwosari, Pegangan Guru TPQ Metode
Qiraati (Pasuruan: Perc. Plassa 9 Tejowangi, 2005),h. 10.
Pertama, orang
yang dibangkitkan dari kuburnya itu mengatakan: “Siapakah yang membangkitkan
dari tempat tidur kami (yang) ini. Apa yang dijanjikan Allah dan dibenarkan
oleh para rasul ini pasti benar”. Kedua, orang yang dibangkitkan dari kuburnya
itu mengatakan: “Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami.
Inilah yang dijanjikan Allah dan dibenarkan oleh para rasul ini pasti benar”. Dengan
membaca saktah, kedua makna yang sama-sama benar tersebut bisa
diserasikan, sekaligus juga untuk memisahkan antara ucapan malaikat dan orang
kafir.
c. Adapun lafadz مَنْ dalam QS.
Al-Qiyamah: 27 pada kalimat مَنْ سكتة رَاقٍ dan
d. lafadz بَلْ dalam QS. Al-Muthafifin: 14 pada
kalimat بَلْ سكتة
رَانَ adalah untuk
menjelaskan fungsi مَنْ sebagai kata tanya
dan fungsi بَلْ sebagai penegas
dan juga untuk memperjelas idharnya lam dan nun,
sebab apabila lam dan nun bertemu
dengan ra’ seharusnya dibaca idgham, namun karena
lafadz مَنْ dan بَلْ dalam kalimat مَنْ سكتة رَاقٍ dan بَلْ سكتة رَانَ mempunyai makna
yang berbeda, maka perlu dipisahkan (diidharkan) dengan waqaf saktah.6
2. Imalah
Imalah artinya memiringkan bunyi
fathah pada kasroh, dan dari huruf alif ke ya’ (Kecenderungan fathah kepada kasrah sehingga
seolah-olah dibaca re). Imalah hanya terdapat 1 lafadz dalam
Al-Qur'an, yakni surat Huud ayat 41, Juz 12.7
وَقَالَ ارْكَبُوا فِيهَا بِسْمِ اللَّهِ مَجْرَاهَا وَمُرْسَاهَا
إِنَّ رَبِّي لَغَفُورٌ رَحِيمٌ (41)
Sebab-sebab di-Imalahkannya lafadz “مَجْرٰىهَا” diantaranya adalah
untuk membedakan antara lafadz “مَجْرٰىهَا” yang artinya berjalan
di darat dengan lafadz “مَجْرٰىهَا” yang artinya berjalan di laut. Dalam
salah satu kamus bahasa arab dijelaskan bahwa lafadz “مَجْرٰىهَا” berasal dari lafadz “جَرٰى” yang artinya berjalan
atau mengalir dan lafadz tersebut dapat dipakai dalam arti berjalan di atas
daratan maupun berjalan di atas lautan (air), namun kecenderungan perjalanan di
permukaan laut (air) tidak stabil seperti halnya di daratan. Terkadang
diterjang ombak kecil dan besar atau terhempas angin, sehingga sangat tepat
apabila lafadz “مَجْرٰىهَا” tersebut di-Imalahkan.8
3. Isymam
Isymam yaitu isyarah dlommah di tengah-tengah dengung. Isymam di
dalam Al-Qur'an hanya ada 1, yaitu di surat Yusuf ayat 11, Juz 12.9
قَالُوا يَا أَبَانَا مَا لَكَ لا
تَأْمَنَّا عَلَى يُوسُفَ وَإِنَّا لَهُ لَنَاصِحُونَ (11)
yaitu pada waktu membaca lafadz tersebut, gerakan lidah seperti
halnya mengucapkan lafadz “لَا
تَأْمَنُنَا” sehingga hampir tidak
ada perubahan bunyi antara mengucapkan lafadz “لَا تَأْمَنَّا” dengan mengucapkan “لَا تَأْمَنُنَا”.
Dengan kata lain, asal dari lafadz “لَا تَأْمَنَّا” adalah lafadz “لَا تَأْمَنُنَا”.
Kalau diteliti lebih dalam, ternyata rasm utsmani hanya
menulis satu nun yang bertasydid. Ada pertanyaan muncul,
dimana letak dammahnya? Sehingga untuk mempertemukan kedua lafadz tersebut
dipilihlah jalan tengah yaitu bunyi bacaan mengikuti rasm,
sedangkan gerakan bibir mengikuti lafadz asal.10
6 Ar-Raghib al-Ashfahany, al-Mufrodat Fii Ghoribi al-Qur’an (Beirut
: Dar al-Ma’rifah, t.t.), h. 17-19.
7 Koordinator Kecamatan Purwosari, Pegangan, h. 7.
8 Ar-Raghib al-Ashfahany, al-Mufrodat, h. 20.
9 Koordinator Kecamatan Purwosari, Pegangan, h. 8.
10 Ar-Raghib al-Ashfahany, al-Mufrodat, h. 21.
4. Badal (Mengganti)
Badal menurut bahasa artinya mengganti, mengubah, sedangkan
maksud badal disini adalah mengganti huruf hijaiyah satu
dengan huruf hijaiyah lainnya.11 Diantara
lafadz-lafadz yang di badal dalam Al-Qur’an menurut Imam Ashim
riwayat Hafs yaitu12 :
a.
Badal ء dengan ي (فِي السَّمٰوٰتِ ائْتُوْنِيْ)
Yaitu mengganti
hamzah mati dengan ya’, sebagian besar imam qira’ah sepakat
mengganti hamzah qatha’ yang tidak menempel dengan lafadz
sebelumnya dan jatuh sesudah hamzah washal dengan alif layyinah (ى). Contoh pada QS.
Al-Ahqaf : 4.
أَمْ لَهُمْ شِرْكٌۭ فِى ٱلسَّمٰوٰتِ ۖ ٱئْتُونِى بِكِتَٰبٍۢ
Cara membacanya, yaitu apabila seorang qari’ membaca
waqaf pada lafadz ( فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ
ۖ) maka huruf ta’ mati dan
hamzah mati diganti ya’ (فِى ٱلسَّمٰوٰتْ ۖ اِيْتُونِى ) sedangkan apabila dibaca washal tidak
ada perubahan.
b.
Badal ص dengan س (وَيَبْصُۜطُ dan بَصْۜطَةً )
Yaitu mengganti
shad dengan siin, sebagian imam qira’ah termasuk
Imam Ashim mengganti ص dengan س pada lafadz وَيَبْصُۜطُ dalam QS. Al-Baqarah : 245 dan lafadz بَصْۜطَةً dalam QS. Al-A’raf : 69. Sebab-sebab
digantinya huruf shad dengan siin pada kedua
lafadz tersebut karena mengembalikan pada asal lafadznya, yaitu بَسَطَ – يَبْسُطُ.
Sedangkan pada lafadz بِمُصَيْطِرٍ dalam QS. Al-Ghasyiyah : 22,
huruf ص tetap dibaca shad karena
sesuai dengan tulisan dalam mushaf (rasm utsmani) dan menyesuaikan
sifat ithbaq dengan huruf sesudahnya (tha’) yang
mempunyai sifat isti’la’. Adapun pada lafadz ٱلْمُصَۣيْطِرُونَ dalam QS. At-Thur
: 37, huruf ص boleh tetap dibaca shad dan
boleh dibaca siin karena, pertama, mengembalikan pada asal
lafadznya, yaitu سَيْطَرَ –
يُسَيْطِرُ , kedua, menyesuaikan sifat ithbaq dengan
huruf sesudahnya (tha’) yang mempunyai sifat isti’la’.13
5. Ba’ di idgham ke Mim
Yaitu huruf Ba’
Mati (disukun) ketika bertemu Mim diidghamkan ke huruf Mim tersebut.
Dalam ilmu tajwid, bacaan ini termasuk bacaan Idgham Mutaqoribain. Di dalam
Al-Qur'an hanya terdapat 1 kali, yaitu di surat Huud ayat 42 Juz 12.14
وَهِيَ تَجْرِي بِهِمْ فِي مَوْجٍ كَالْجِبَالِ وَنَادَى نُوحٌ
ابْنَهُ وَكَانَ فِي مَعْزِلٍ يَا
بُنَيَّ ارْكَبْ مَعَنَا وَلا تَكُنْ مَعَ الْكَافِرِينَ (42)
6. Naql
Naql menurut bahasa berasal dari lafadz نَقَلَ – يَنْقِلُ – نَقْلًا yang artinya memindah, sedangkan menurut istilah ilmu qira’ah artinya
memindahkan harakat ke huruf sebelumnya. Yaitu lam alif (لا) dibaca kasroh lam-nya,
sedangkan kata ismun (اِسْمٌ) hamzah-nya tidak dibaca. Dalam qira’ah Imam
Ashim riwayat Hafs ada satu bacaan naql yaitu lafadz بِئْسَ الْاِسْمُ dalam
surat al-Hujuraat ayat 11 Juz 26.
وَلا تَنَابَزُوا بِالألْقَابِ بِئْسَ
الاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الإيمَانِ (11)
11 Koordinator Kecamatan Purwosari, Pegangan, h. 4.
12 Ar-Raghib al-Ashfahany, al-Mufrodat, h. 23-25.
13 Ulin Nuha Arwani, dkk., Thoriqoh Baca Tulis dan Menghafal
al-Qur’an (Kudus: BAPENU Arwaniyyah, 2010), h. 42-44.
14 Ibid., h. 38.
Alasan dibaca naql pada lafadz الْاِسْمُ adalah karena adanya dua hamzah
washal, yakni hamzah alta’rif dan hamzah ismu yang
mengapit lam, sehingga kedua hamzah tersebut tidak terbaca apabila
disambung dengan kata sebelumnya. Faidahnya bacaan naql ialah
untuk memudahkan dalam mengucapkannya atau membacanya.15
7. Tiga model bacaan
Yaitu, 3 (tiga)
macam bacaan yang terjadi karena washal dan waqaf. Ketiga hukum bacaan tersebut
adalah :
a. Bila washal, Ra’-nya dibaca
pendek keduanya.
b. Bila waqaf pada kalimat pertama, Ra’
dibaca panjang 1 alif / 2 harakat.
c. Bila Waqaf pada kalimat kedua, Ra’ kalimat
pertama dibaca qasr (pendek) dan Ra’ kalimat kedua dibaca sukun
(mati).
3 (tiga) buah
model bacaan asing ini hanya terdapat dalam surat al-Insaan ayat 15-16. 16
وَيُطَافُ عَلَيْهِمْ بِآنِيَةٍ مِنْ فِضَّةٍ وَأَكْوَابٍ كَانَتْ قَوَارِيرَا
(15) قَوَارِيرَ مِنْ فِضَّةٍ قَدَّرُوهَا تَقْدِيرًا (16)
8. Tashiil
Tashil artinya
lunak, yakni hamzah pertama dibaca tahqiq (jelas) dan pendek, sedangkan hamzah
kedua dibaca tashiil, yaitu meringankan bacaan antara Hamzah dan Alif. Di dalam
Al-Qur'an hanya terdapat 1 kali, yaitu di Surah Fussilaat, ayat 44: 17
وَلَوْ جَعَلْنَاهُ قُرْآنًا أَعْجَمِيًّا لَقَالُوا لَوْلا
فُصِّلَتْ آيَاتُهُ أَأَعْجَمِيٌّ وَعَرَبِيٌّ
(44)
Alasan lafadz ءَاَعْجَمِىٌّ dibaca tashil, karena apabila ada dua hamzah qatha’
bertemu dan berurutan pada satu lafadz, bagi lisan orang Arab merasa berat
melafadzkannya, sehingga lafadz tersebut bisa ditashilkan (diringankan).18
C. Cara Menafsirkan Ayat-ayat yang Gharib
Permasalahan ini
menjadi persoalan yang sangat rumit, khususnya setelah Nabi SAW. wafat, sebab
saat beliau masih hidup semua permasalahan yang timbul langsung ditanyakan
kepadanya. Tentu tidak semua persoalan sosial dan kemasyarakatan serta
keagamaan muncul saat beliau masih hidup karena umur beliau relatif singkat,
sementara pesoalan kemasyarakatan tersebut berkembang sejalan dengan
perkembangan masyarakat itu sendiri.
Namun Rasulullah
sebelum wafat telah meninggalkan dua pusaka yang sangat ampuh dan mujarab serta
berharga, yaitu Kitab Allah dan Sunnah Rasul. Nabi menjamin barang siapa yang
berpedoman kepada keduanya niscaya dia tidak akan sesat selama-lamanya.
تـَرَكـْتُ فِـيْكُـمْ شَـيْـئَـيْـنِ لَنْ تـَضِـلُّـوْا
بـَعْـدَهُـمَا كِـتـَابَ اللهِ وَ سُـنَّـتِى (رواه الحكم)
“Aku meninggalkan
dua perkara pada diri kalian yang kalian tidak akan tersesat setelahnya yaitu
Kitab Allah dan Sunnahku”.
Hadits ini
dikuatkan oleh firman Allah yang tertera pada surat al Nisa’ ayat 59:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا
الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ
إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا (59)
15 Ibid., h. 29-30.
16 Koordinator Kecamatan Purwosari, Pegangan, h.
14.
17 Ibid., h. 12.
18 Ar-Raghib al-Ashfahany, al-Mufrodat, h. 28.
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri (pemimpin) di antara kamu.
Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
persoalan tersebut kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
Secara teoritis
kembali kepada al qur’an dan hadits boleh dikatakan tidak ada masalah, tetapi
problema muncul lagi dan terasa memberatkan pikiran ketika teori itu diterapkan
untuk memecahkan berbagai kasus yang terjadi di masyarakat. Oleh karena hal itu
cara yang digunakan oleh ulama’ dalam memahami gharib al qur’an, -
dan ini disebut juga “Ahsana al Thuruq” oleh sebagian ulama -
adalah sebagi berikut :
1. Menafsirkan al qur’an dengan al qur’an
Contoh Surat al
An’am ayat 82
الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ
لَهُمُ الأمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ (82)
Kata ظلم dalam ayat
tersebut jika diartikan secara tekstual maka terasa membawa pemahaman yang
asing dan tidak cocok dengan kenyataan sebab hampir tidak ditemukan orang-orang
yang beriman yang tidak pernah melakukan perbuatan dzalim sama sekali. Jika
begitu maka tidak ada orang mukmin yang hidupnya tentram dan tidak akan
mendapat petunjuk.
Oleh karena itu sahabat bertanya kepada
Rasulullah, lalu Rasul menafsirkan kata dzulm dengan syirk berdasarkan
pada surat Luqman ayat 13:
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لا
تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ (13)
“Dan (Ingatlah) ketika
Luqman Berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya:
"Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".
Dari penjelasan Nabi di atas dapat diketahui bahwa kata dzulm dalam
surat al An’am berarti syirk bukan ke-dzaliman biasa, dengan
penjelasan itu selesailah persoalannya. Dan berdasarkan penjelasan Nabi itulah
maka surat al An’am ayat 82 diterjemahkan sebagai berikut: “orang-orang yang
beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kedzaliman (syirik)
mereka itulah yang mendapatkan keamanan dan mereka adalah orang-orang yang
mendapat petunjuk”.19
2.
Menafsirkan al qur’an dengan sunnah rasul
As-Sunnah adalah penjelas dari al qur’an, dimana al qur’an telah
menjelaskan bahwa semua hukum (ketetapan) Rasulullah berasal dari Allah. Oleh
karena itu Rasulullah bersabda:
أَلاَ إنِّي أُوْتِيْتُ القُرآنَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ يَعْنِي
السُنَّةَ
“Ketahuilah bahwa telah diberikan
kepadaku Qur’an dan bersamanya pula sesuatu yang serupa dengannya” yaitu sunnah.20
3.
Jika tidak ditemukan di dalam hadits maka dicari dalam atsar (pendapat)
shahabat.
Pendapat para
sahabat lebih akurat dari pada lainnya dikarenakan mereka telah berkumpul
dengan Rasulullah dan mereka telah meminum air pertolongan beliau yang bersih. Mereka
menyaksikan wahyu dan turunnya, mereka tahu asbabun nuzul dari
sebuah ayat maupun surat dari al qur’an, mereka mempunyai kesucian jiwa,
keselamatan fitrah dan keunggulan dalam hal memahami secara benar dan selamat
terhadap kalam Allah SWT. bahkan menjadikan mereka mampu menemukan
rahasia-rahasia al qur’an lebih banyak dibanding siapapun orangnya.21
19 Nashruddin
Baidan, Wawasan, h. 270.
20 Manna
Khalil al Qattan, Mabahitsi fi Ulumil Qur’an, diterjemahkan oleh
Mudzakir AS dengan judul Studi Ilmu-ilmu Qur’an (Bogor:
PT
Pustaka Litera Antar Nusa, 1992), h. 458.
21 Ali as Shabuni, Al Tibyaan fi Ulumil Qur’an,
diterjemahkan oleh Muhammad Qodirun Nur dengan judul Ikhtisar Ulumul
Qur’an
Praktis (Jakarta: Pustaka Amani, 2001), h. 105.
4. Jika masih belum didapati pemecahannya
maka sebagian ulama memeriksa pendapat tabi’in.
Diantara tabi’un ada yang menerima
seluruh penafsiran dari sahabat, namun tidak jarang mereka juga berbicara
tentang tafsir ini dengan istinbath (penyimpulan) dan Istidlal (penalaran
dalil) sendiri. Tetapi yang harus menjadi pegangan dalam hal ini adalah
penukilan yang shohih.22
5. Melalui sya’ir
Walaupun sebagian besar ulama nahwu
mengingkari cara yang kelima ini dalam menafsirkan ayat yang gharib namun
cobalah kita melepaskan diri dari perbedaan itu dan melihat penjelasan dari Abu
Bakar Ibnu Anbari yang berkata “telah banyak riwayat yang menyebutkan bahwa
sahabat dan tabi’in berhujjah dengan sya’ir-syair dengan kata-kata yang asing
bagi al qur’an dan yang musykil (yang sulit)”.
Syair-syair itu bukanlah dijadikan sebagi
dasar al qur’an untuk berhujjah melainkan dijadikan sebagai penjelas dari
huruf-huruf asing yang ada di al qur’an, karena Allah berfirman dalam surat az
Zukhruf ayat 3 “Sesungguhnya Kami menjadikan al-qur’an dalam bahasa arab”.
Syair-syair itu sebagai perbendaharaan
bangsa arab. Jika salah satu huruf dalam al qur’an tidak diketahui dalam
bahsa arab maka dikembalikan pada perbendaharaan mereka (bangsa arab), dan
dicari maknanya.
Ibnu Abbas berkata “ jika kalian
bertanya kepadaku tentang sebuah kata asing di dalam al qur’an maka carilah
maknanya pada syair-syair. Sesungguhnya syair-syair itu adalah perbendaharaan
bangsa arab”.
Contoh: ketika Ibnu Abbas sedang
duduk-duduk di halaman ka’bah, dia dikelilingi oleh sekelompok kaum dan
bertanya kepadanya tentang penafsiran beberapa ayat, diantaranya mereka
bertanya tentang tafsir ayat وابتغو اليه الوسيلة yang ada pada
surat al Maidah ayat 35. Kata الوسيلة diartikan oleh
Ibnu Abbas dengan “kebutuhan” , kemudian dia mengambil dasar dari syair yang
dikatakan oleh Antarah yang berbunyi: 23
ان الرجال لهم اليك وسيلة ان يأخذوك تكحاي و تخضبي
Sesungguhnya para laki-laki itu membutuhkanmu
Jika mereka hendak mengambilmu, Maka pakailah
celak dan semir
D. Faedah Mengetahui Gharaib
al-Qur’an
Banyak faedah
yang dapat dipetik dengan mengetahui dan mempelajari ayat-ayat yang gharibat
antara lain sebagai berikut:
1. Mengundang tumbuhnya penalaran ilmiah.
Artinya, mempelajari ayat-ayat yang sulit dalam pemahamannya itu akan
melahirkan berbagai upaya guna memahaminya.
2. Mengambil perhatian umat. Dengan
diketahuinya ke-gharib-an ayat-ayat Alqur’an, maka terasa mendalam ketinggian
bahasa yang dibawa oleh Alqur’an.
3. Memperoleh keyakinan eksistensi
Alqur’an sebagai kalam ilahi. Dengan diketahui maksud yang terkandung dalam
ayat-ayat gharibat, maka akan diperoleh suatu pemahaman yang mendalam dari ayat
tersebut.24
22 Manna
Khalil al Qattan, Mabahitsi, h. 459.
23 Al-Syatiby, Al-Muwafaqat (Beirut
: Dar al-Ma’rifah, t.t.), h. 18-20.
24 Nasruddin
Baidan, Wawasan, h. 270-271.
E. MUSYKILAT
1. Pengertian Musykilat
Musykilat adalah bacaan-bacaan yang antara tulisan dengan cara
membacanya berbeda. Hal ini bertujuan agar kita dalam membacanya lebih
berhati-hati dan terhindar dari kesalahan membaca.
Beberapa sebab terjadinya perbedaan :
a) Ada huruf yang
tertulis tapi dibaca dengan suara atau bunyi lain.
b) Ada huruf dalam kata tertulis tapi
tidak dibaca.
c) Ada taudan shifir (bulatan kecil di
atas alif) ada 2 yaitu:
d) Shifir Mustadhir : bulatan kecil di
atas huruf alif yang berada di tengah kata sehingga huruf alif tersebut tidak
berfungsi dan dibaca pendek.
e) Shifir Mustahil : bulatan lonjong
kecil di atasalif yang berada di akhir kata yang memiliki fungsi jika waqaf
maka dibaca Panjang dan jika wasol dibaca pendek.
2.
Jenis-jenis Musykilat
a)
Perubahan
suara
Yaitu suara huruf ص di ganti dengan suara huruf س, ini berada di 3
tempat : QS.Al-Baqarah ayat 245, QS.Al-A’raf ayat 69,
dan QS.Ath-thur ayat 37 (yang ini boleh dibaca tetap ص atau di ganti dengan س).
b)
Huruf ro’
di baca tebal
Biasanya jika ada Ro’ Sukun didahului
dengan harakat kasrah, maka Ro’ tersebut dibaca tipis, tetapi pada kata-kata
tertentu justru harus dibaca tebal.
c)
Huruf
wawu tidak dibaca
Yaitu terdapat huruf wawu dalam sebuah kata, tapi tidak dibaca.
d)
Huruf
“ وا” dibaca pendek
Yaitu terdapat وا dlam sebuah kata, tapi dibaca pendek,
Misal : kata اﻧﺒﻮًا.
e)
Harakat
“ ﻪ ”
Dalam Al-Qur’an terdapat beberapa kata yang membacanya tidak sesuai dengan
kaidah penulisannya. Misal : ﻓﻴﻪ, ﻋﻠﻴﻪ dan lainnya.
f)
Nun
washol/ nun iwadl
Adalah jika ada tanwin yang bertemu dengan hamzah washol, maka cara membacanya
suara tanwin harus di ganti dengan nun kasrah. Misal : ﺧﻴﺮن اﻟﻮﺻﻴﻪ.
g)
Hamzah
sukun saat waqaf dan washol
Dalam Al-Qur’an terdapat hamzah sukun yang jika dibaca setelah
waqaf (ibtida’), maka suara hamzah sukun menjadi suara Ya’ sukun
(panjang), namun jika dibaca washol, maka hamzah sukun tidak berubah. Missal
: اﻳﺘﻮﻧﻲ menjadi اﯨًﺘﻮﻧﻲ saat washol tidak berubah/tetap اﻳﺘﻮﻧﻲ.
h)
“ﺊ ”
dibaca pendek
Yaitu terdapatnya ﺊ dalam sebuah
kata,tapi dibaca pendek. Misal: kata ﺘﻟﻘﺎ
ﺊ , ﻭﺭﺍ ﺊ dan sebagainya.
i)
“ﺃﻭ” dibaca pendek
Yaitu terdapat nya dalam sebuah kata,tapi dibaca pendek. Misal: kata ﺃﻭﻟﻭﺍ, ﺃﻭﻟﺌﻙ dan sebagainya.25
j)
Huruf
alif tidak dibaca
Yaitu terdapatnya huruf alif dalam
sebuah kata,tetapi tidak dibaca. Misal: kata ﺠﺎﻱﺀ ,ﺘﺎﻴﺌﺴﻭﺍ
k)
“…ﺍ…” dibaca pendek
Terdapat “…ﺍ…” dalam sebuah kata,
tapi dibaca pendek. Misal : kata, ملانه افانن , dsb.
25 http://eprints.walisongo.ac.id/2135/3/63111120-Bab2.pdf
l) “…ﺍ dibaca pendek
Terdapat “…ﺍ dalam sebuah
kata, tapi dibaca pendek. Misal : kata ثمودوا , ندعوا
dan sebagainya.
m) “…ﺍ saat waqof
Terdapat “…ﺍ dalam sebuah
kata, saat waqof dibaca panjang. Misal : السبيلا , الرسولا dan sebagainya.
n) “…ﺍ saat washal
Terdapat “…ﺍ dalam sebuah
kata, saat washal dibaca pendek. Misal : السبيلا , الرسولا dan sebagainya.
26 A. M Khan, Praktikum Qira’at,
cet. 1, (Jakarta: Amzah, 2008), hlm. 94.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Gharib menurut
bahasa artinya tersembunyi atau samar, sedangkan menurut istilah Ulama qurra’,
gharib artinya sesuatu yang perlu penjelasan khusus dikarenakan samarnya
pembahasan atau karena peliknya permasalahan baik dari segi huruf, lafadz, arti
maupun pemahaman yang terdapat dalam Al-Quran. Adapun bacaan-bacaan yang
dianggap gharib (tersembunyi/samar) dalam qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs
diantaranya adalah : Imalah, Isymam, Saktah, Tashil, Naql, Badal dan Shilah.
Sedangkan.
Musykilat adalah bacaan-bacaan yang
antara tulisan dengan cara membacanya berbeda. Hal ini bertujuan agar kita
dalam membacanya lebih berhati-hati dan terhindar dari kesalahan membaca.
B.
Kritik dan Saran
Dengan
telah dipaparkannya materi tentang Ghorib dan Musykilat. Diharapkan dapat
menjadi acuan dalam pembelajaran serta bermanfaat bagi pembaca terutama bagi
penulis. Oleh sebab itu, pemakalah mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun dari para pembaca untuk penulisan makalah yang lebih baik di masa
yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005)
Abdul Majid Khan, Praktikum Qira’at (Jakarta:
Amzah, 2008),
Imam Jalaluddin As Suyuthi, Al Itqon fi Ulumil Qur’an,
diterjemahkan oleh Farikh Marzuqi Ammar
dan Imam Fauzi Ja’iz
dengan judul Samudra Ulumul Qur’an {Al-Itqan fi Ulumil
Qur’an} (Surabaya: PT Bina Ilmu Surabaya, 2006),
Muchotob Hamzah, Studi Al-Qur'an Komprehensif (Yogyakarta:
Gama Media, 2003),
Koordinator Kecamatan Purwosari, Pegangan Guru TPQ Metode
Qiraati (Pasuruan: Perc. Plassa 9
Tejowangi, 2005),
Ar-Raghib al-Ashfahany, al-Mufrodat Fii Ghoribi al-Qur’an (Beirut
: Dar al-Ma’rifah, t.t.),
Ulin Nuha Arwani, dkk., Thoriqoh Baca Tulis dan Menghafal
al-Qur’an (Kudus: BAPENU
Arwaniyyah, 2010),
Manna Khalil al Qattan, Mabahitsi fi Ulumil Qur’an,
diterjemahkan oleh Mudzakir AS dengan judul Studi Ilmu-ilmu Qur’an (Bogor:
PT Pustaka Litera Antar Nusa, 1992), h. 458.
Ali as Shabuni, Al Tibyaan fi Ulumil Qur’an,
diterjemahkan oleh Muhammad Qodirun Nur dengan judul Ikhtisar Ulumul
Qur’an Praktis (Jakarta: Pustaka Amani, 2001),
Al-Syatiby, Al-Muwafaqat (Beirut : Dar al-Ma’rifah,
t.t.),
M Khan. 2008. Praktikum Qira’at, cet. 1.Jakarta:
Amzah.
Misbachul Munir. 2005. Ilmu dan Seni Qiro’atil
Qur’an. Semarang: Binawan.
Dewan Qiro’ati. 1996. Rangkuman Bacaan Ghorib dan
Musykilat. Magelang:ponpes.
http//ghorib dan musykilat.html. Di akses pada tanggal
Desember 2020
http://eprints.walisongo.ac.id/2135/3/63111120-Bab2.pdf.
Komentar
Posting Komentar